26 Juni 2009

Lembaga Adat Karampuang Sinjai



Sebagai suatu komunitas tradisional, tentunya kehadiran pemimpin sangat dibutuhkan sebagai tokoh yang mampu mengayomi warganya dalam melaksanakan aktivitasnya. Dalam tradisi karampuang, kepemimpinan diserahkan kepada empat tokoh adat dengan peran yang berbeda-beda. Keempatnya adalah Arung, Ade, Sanro dan Guru. Arung, Ade dan Guru harus dijabat oleh laki-laki, sedangkan Sanro haruslah dijabat oleh wanita. Keempatnya digambarkan dengan api tettong arung, tana tudang ade, anging rekko sanro serta wae suju guru ( empat unsur kehidupan yakni api, tanah, udara dan air ). Perpaduan keempat tokoh ini digambarkan sebagai Eppa alliri tetteppona hanuae. Dalam menjalankan aktivitasnya mereka harus tetap kompak dan memutuskan segala persoalan atas kesepakatan bersama. Selain itu, segala keputusan yang telah ditetapkan harus dijaga dan tidak dibolehkan untuk mengubahnya lagi dan diungkapkan dengan kata teppu batu tenrilesang. Akhirnya dipertegas lagi dengan kata-kata de’ na lura bicara. Karena posisinya sebagai ade eppa, maka mereka bahu membahu mempertahankan segala tradisi leluhur yang merupakan warisan sekaligus amanah dari tomanurung.

Namun demikian, sebagai anggota masyarakat dan merupakan bagian dari orang banyak, mereka sekaligus menduduki jabatan yakni sebagai tomatoa, gella, sanro, dan guru. Bagi pengangkat adat, telah digariskan bahwa tomatoa, gella, guru harus dijabat oleh laki-laki sedangkan sanro haruslah wanita. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai pemimpin masyarakat, maka keempatnya mempunyai pendamping atau pembantu yang disebut dengan bali tudangeng. Arung dalam menjalankan fungsinya sebagai to matoa didampingi oleh seorang ana malolo yakni sebagai pabbicara dan juga merupakan putra mahkota atau pattola. Kedudukan sebagai pattola ini bukanlah mutlak untuk menjadi pengganti dari arung, tetapi hanya sebagai juru bicara dari arung. Ana malolo tadi tidak mutlak anak dari arung. Tokoh adat lainnya adalah gella,. Dalam menjalankan tugasnya, gella dibantu pula oleh seorang ana malolo yang fungsinya sebagai pabbicara. Selain itu, masih dibantu lagi oleh beberapa orang sebagai suro dan pabbilang yakni ahli dalam bidang-bidang tertentu. Sedangkan sanro dibantu oleh pinati, pappajo, paggenrang dll. Sedangkan guru dibantu oleh katte, bilala dan doja. Selain fungsi sosial, keempatnya diikat lagi oleh fungsi religi yang diungkapkan dengan Mappogau Hanuai Arungnge, Mabbissa Lompoi Gellae, Makkaharui Sanroe, Mattula balai gurue. Dengan demikian, maka keempatnya menjadi pemimpin lagi dalam urusan-urusan ritual. Sebagai contoh pada pelaksanaan pesta adat mappogau hanua, yang menjadi penanggung jawab adalah arung, upacara memulai tanam dan panen dipimpin oleh gella. Upacara-upacara adat kecil seperti mappalesso ase, mabbali sumange dipimpin oleh sanro. Sedangkan maulu dan miraje dipimpin oleh guru.

Untuk memudahkan menjalankan aktivitasnya, tersedia dua rumah adat yang berfungsi sebagai istana yaitu tomatoa dan sanro harus menempati rumah adat. Tomatoa dan gella menempati rumah adat gella. Guru dan ana malolo juga mempunyai kamar tersendiri dirumah adat. Hal yang menarik adalah kepemimpinan tradisisonal ini adalah karena apabila salah seorang dari mereka meninggal dunia maka dia tidak boleh dimakamkan sebelum ada penggantinya dan diterima oleh warga atau diungkapkan dengan, engkapa nasappei bajunna atau nanti setelah ada pengganti yang akan mengenakan baju kebesarannya. Dalam menunjuk calon pengganti dari yang meninggal, telah digariskan dengan tegas oleh adat bahwa penggantinya tidak mutlak anak dari tokoh adat yang meninggal, walaupun sangat diharapkan oleh warga dengan ungkapan, teppa raungna ajukkajue, tapi berdasarkan kriteria dan syarat-syarat tertentu, maka keinginan itu bisa saja menjadi lain. Syarat untuk dipilih menjadi pengganti antara lain : mabbali pangngara (telah menikah), deggaga salanna (tidak pernah membuat kesalahan yang merugikan), de’na makkara-kara (tidak sedang berperkara), maummuru (sekitar 35 tahun), paisseng ri adena (faham dengan adat), paisseng ri gau (memehami norma-norma), nacoe (berwibawa) dan mappalece (membujuk).

25 Juni 2009

Karampuang, dusun sakral penuh mitos

Hal yang unik pada To Manurung kedua seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam Lontara atau kitab sakral atau babad Karampuang adalah, ungkapan yang mengatakan bahwa To Manurung yang muncul di Karampuang tersebut berasal dari Manjappai atau Majapahit, sedangkan kebanyakan lontara lain di Sulawesi Selatan selalu menghubungkan kehadiran To Manurung itu selalu dikatakan dari langit. Dengan demikian memberikan gambaran kepada kita bahwa hubungan kesejarahan antara Jawa dan Bugis sudah berlangsung lama. To Manurung wanita yang akhirnya menjadi pemerintah pertama di Karampuang diyakini berasal dari Jawa. Dan untuk mengabadikan To Manurung tersebut maka rumah adatnya dibentuk sedemikian rupa dengan mengambil simbol-simbol wanita yang berbeda dengan kebudayaan bugis pada umumnya. Rumah Bugis Makassar yang selalu sarat dengan simbol kejantanan seperti tanduk kerbau, tanduk rusa sebagai hiasan puncak rumah, bentuk tangga yang terjulur ke depan atau menyamping searah lebar rumah adalah simbol (maaf ) ereksi dan tidak ereksi dari alat vital pria, pembagian kamar atau bilik yang selalu menempatkan kamar laki-laki di bagian depan sementara kamar perempuan tersembunyi di belakang. Bahkan di rakkeang atau bagian loteng adalah simbol betapa supremasi laki-laki mendominasi dalam detail-detail rumah bugis Makassar. Sebaliknya di Karampuang, rumah adat Karampuang justeru melambangkan seorang wanita anggun yang digambarkan melalui simbol-simbol wanita. Pintunya yang terletak ditengah-tengah rumah bagian dalam dan tersembunyi adalah simbol dari ( maaf ) kemaluan wanita. Pintu ini memiliki gembok yang terbuat dari batu bulat yang merupakan simbol dari klitoris perempuan yang disebut batu tuo atau batu yang mampu merangsang birahi kaum pria. Penggantungnya terbuat dari kulit kerbau yang penuh bulu atau rambut yang juga merupakan bagian kemaluan wanita. Di depan pintu terdapat dua buah dapur yang merupakann simbol sumber kehidupan melambangkan dua buah dada wanita. Di samping rumah tergantung dengan manisnya hiasan anting-anting wanita yang disebut dengan bate-bate. Di puncak rumahnya di tempatkan ijuk yang disebut dengan hilua simbol rambut wanita, Di ujung rumahnya bagian atas berdiri dengan anggunnya mahkota sang wanita cantik lengkap denngan juntaian rantainya yang disebut tobonya serta beberapa simbol wanita lainnya. ( selesai )

24 Juni 2009

Karampuang, dusun sakral penuh mitos

Terbentuknya dusun Karampuang di desa Tompobulu, kab. Sinjai, tidak terlepas dari kehadiran sosok yang tidak dikenal dipuncak sebuah bukit yang bernama Batu Lappa dan sangat dikeramatkan hingga kini yang dalam khasanah sejarah dan budaya Sulawesi Selatan dikenal dengan To Manurung. To artinya orang sedangkan Manurung artinya yang turun atau yang tiba-tiba muncul dan tak diketahui asal usulnya. To Manurung sebagai sosok yang tidak dikenal tersebut membangkitkan kekaguman tersendiri dari seluruh warga yang datang menyaksikan sosok tak dikenal tersebut . Begitu kharismatiknya, pada saat masyarakat berbondong-bondong ke tempat kehadiran To Manurung tersebut, bulu kuduk warga merinding dan secara spontan merasakan Karampulue yang artinya berdiri buluroma. Kata Karampulue akhirnya dijadikan nama menjadi Karampulue. Seiring dengan perjalanan waktu, kata Karampulue menjadi Karampuang karena tempat tersebut sering digunakan sebagai tempat persinggahan raja-raja atau bangsawan Bone atau sering dipanggil Puang serta bangsawan Makassar yang sering disapa dengan Karaeng. Perpaduan dua nama Puang dan Karaeng akhirnya Karampulue menjadi Karampuang. To Manurung pertama ini akhirnya didaulat untuk menjadi pemimpin masyarakat Karampuang tersebut dan mencetak beberapa sawah yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat hingga kini. Sawah pertama yang dibuat oleh To Manurung tersebut hingga kini masih tetap dipelihara dan dijadikan sebagai sawah adat dan diberi nama Galung Abungerreng atau sawah pertama. Konon sawah ini dibentuk dengan menggunakan tulang-tulang binatang yang akhirnya masyarakat menirunya cara pencetakan sawah semacam itu dan akhirnya sawah-sawah semakin luas seperti apa yang ada sekarang ini.. Masa pemerintahan To Manurung ini sangat singkat karena tiba-tiba lenyap ditempat dia pertama kali dilihat oleh masyarakat dengan meninggalkan pesan yang sangat mendalam, ” eloka tuo tea mate, eloka madeceng tea maja yang artinya saya ingin hidup dan tak mau mati, saya ingin kebaikan dan menghindari kejelekan. Pesan ini diterjemahkan oleh warga bahwa dia ingin agar apa yang telah dia lakukan untuk tetap dilestarikan dan kelak menjadi modal utama masyarakat. Namun demikian, dalam kebingungan masyarakat karena menghilangnya To Manurung yang mereka cintai, tiba-tiba muncul lagi To Manurung baru yang jumlahnya tujuh orang dan salah seorang di ataranya adalah seorang wanita cantik. Wanita tersebut didaulat untuk memimpin Karampuang sedangkan saudara laki-lakinya diperintahkan untuk memimpin kawasan lainnya. Perpisahan ke tujuh bersaudara ini disebut dengan lao cimbolona monro capengna artinya andaikan sebuah kelapa, sebagian besar buah kelapa itu pergi ke tempat lain, yang tinggal hanyalah puncak tempurungnya. Terjadinya perpisahan ini adalah perintah langsung dari pemimpin To Manurung wanita tadi . Dalam lontara Karampuang yang sangat disakralkan tersebut perintahnya tertulis, nonnono makkale lembang , numaloppo kuallinrungi, numatanre kuacinaungi, makkelo kuakkelori, naualai lisu ( turunlah ke lembah sana, kelak kau harus besar untuk melindungiku, mendapat kehormatan untuk menaungiku, menjadi pemerintah yang disegani, tapi kelak kebesaran itu akan kembali ke Karampuang ). Lebih jauh dijelaskan maksudanya bahwa kebesaran dan kehormatan yang akan kalian peroleh , suatu saat akan kembali lagi ke Karampuang. Apakah ini tuah dari pesan suci tersebut sehingga Karampuang menjadi besar namanya sedangkan wilayah-wilayah bentukan adik-adiknya sudah tak jelas lagi, waktulah yang akan menentukannya...... ( bersambung )