07 Juli 2009

Kode Etik Jurnalistik


Kode Etik Jurnalistik menempatkan independensi sebagai prinsip pertama yang harus dimiliki jurnalis, juga media, dalam menjalankan profesi ini. Sebagai mata dan telinga masyarakat, sikap independen jurnalis dan media sangat penting agar publik bisa mengambil tindakan berdasarkan informasi yang betul-betul obyektif, bukan dari informasi yang lahir karena keberpihakan jurnalis dan media terhadap kepentingan kelompok tertentu –apakah itu kepentingan pemilik media atau pemasang iklan.

Sikap profesional juga tak kalah penting bagi jurnalis dan media. Adanya Kode Etik Jurnalistik, sebagai bagian dari etika profesi, sejatinya diharapkan dapat menjadi panduan bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya, dan media saat mengoperasionalkan medianya. Salah satu sikap profesional yang disebut tegas dalam kode etik adalah tak menyalahgunakan profesi dan tak menerima suap. Prinsip-prinsip penting ini memang merupakan soal yang menjadi kepedulian -–kalau bukan keprihatinan-- komunitas media setelah era Orde Baru.

Tantangan yang dihadapi media saat ini relatif berbeda dengan di masa Orde Baru. Negara, yang di masa lalu merupakan momok penting bagi kebebasan pers melalui sensor dan pembredelan, kini tak seperkasa dulu. Namun, ancaman sensor dan intervensi tak lantas menghilang. Saat ini, sensor itu bisa datang dengan cara dan oleh pelaku yang berbeda. Salah satunya adalah dari pemasang iklan dan pemilik media. Inilah yang menjadi salah satu tantangan besar bagi independensi dan profesionalisme media saat ini.


Pasca reformasi, sejarah pers di Indonesia mengalami banyak kejadian yang signifikan yaitu berkembangnya kebebasan pers, kebebasan berserikat bagi para wartawan, dan peningkatan jumlah penerbit pers yang luar biasa. Data terakhir dari SPS menunjukkan, jumlah media cetak di Indonesia mencapai 829. Angka yang luar biasa.

Namun masih banyak masalah di balik capaian-capaian itu. Kebebasan pers tidak serta merta berhubungan lurus dengan profesionalisme dan independensi media massa. Masih banyak terjadi praktek-praktek jurnalistik yang melanggar kode etik jurnalistik. Salah satunya adalah hubungan yang tidak profesional antara jurnalis dengan pemerintah.

Survei AJI pada 2005 yang meliputi 80 media di 17 kota menunjukkan situasi yang masih sangat menyedihkan menyangkut kesejahteraan jurnalis. Dari 400 responden yang diwawancarai, sebagian besar gaji jurnalis berada pada rentang Rp 600 ribu – Rp 999 ribu/bulan (22,5%), Rp 1 juta – Rp 1,399 juta/bulan (25%), dan Rp 1,4 juta – 1,799 juta/bulan (16,5%). Mereka yang bergaji adi atas Rp 5 juta/bulan hanya berjumlah 1,3%. Bahkan masih ada jurnalis yang digaji di bawah Rp 200 ribu.

Kesejahteraan yang rendah merupakan pemicu munculnya praktek pemberian suap kepada jurnalis, selain keinginan politik dari pemerintah untuk mengontrol berita. Simbiosis tidak profesional itu masih terjadi. Survey yang sama dari AJI menunjukkan bahwa sekitar 65% wartawan menerima suap (amplop).

Sudah seringkali dilakukan kampanye terhadap pemberantasan praktek ilegal tersebut, dan belum berhasil. Ada beberapa penyebab kegagalan itu:
• Euforia industri pers memunculkan banyak wartawan tidak terdidik dan tidak profesional. Kekuatan wartawan independen dalam mengampanyekan independensi pers tidak sepadan dengan jumlah wartawan tidak terdidik yang muncul akibat euforia industri pers. Kampanye independensi jurnalis sering berisiko besar.
• Pemerintah tidak menganggap serius praktek itu sebagai masalah dan justru menganggapnya sebagai peluang untuk mengontrol opini publik
• Masyarakat memang peduli terhadap praktek tersebut, namun keprihatinan mereka kurang terkonsolidasi

Dari paparan di atas, bisa dirumuskan penyebab mendasar munculnya praktek penyuapan yaitu:
• Rendahnya kesejahteraan jurnalis akibat rendahnya kapasitas modal perusahaan dan atau hubungan industrial pers yang tidak adil
• Kepentingan politik pemerintah atau perusahaan untuk mengontrol opini publik dengan memanfaatkan rendahnya kesejahteraan jurnalis
• Ketidakpedulian perusahaan pers pada kualitas jurnalistik media mereka

Pola-pola modus penyuapan ke wartawan pun beragam. Mulai dari yang ”klasik” berupa suap amplop sampai ke budaya telepon, pemberian fasilitas pribadi, entertainment dan lain-lain. Di sisi yang lain, wartawan sudah sering melakukan peliputan investigatif untuk isu-isu tertentu. Namun mereka sendiri sering lupa atau enggan bahwa ada fenomena di dekat mereka yang membutuhkan investigasi dengan kualitas nilai berita dan signifikansi publik yang tinggi. ( www.ajiindonesia.org )

0 komentar: