19 Juli 2008

Celoteh anak negeri

Gunakan panca indera yang kita miliki & balutlah dengan tekad serta kemauan sekeras baja. Mari bangun tanah tempat kita berpijak. jangan berhenti berbuat yang terbaik buat negeri ini. Negeri ini butuh sentuhan manis tangan-tangan anak negeri...

Buah Hatiku


Buah hatiku yang pertama ini, Namanya Sayyid Affan Puzacha, saat ini sedang lucu2nya. Kendati memberikan pekerjaan baru buat saya sebagai seorang ayah, kehadirannya membuat saya terhibur. Buah hatiku.. jadi inspirasi buat saya untuk terus menghasilkan karya jurnalistik. Sebagai seorang ayah, saya berharap buah hatiku jadi seorang pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab. seperti namanya yang mengandung arti, pemuka/pemimpin yang menghindari hal-hal yang haram putra dari zainal-icha, Amien...

Bersama rekan dari harian fajar & radio elshinta

Investasi Politik Di Arena Pilkada

Oleh : Zainal Abidin Ridwan

Koordinator KIPP ( Komite Independen Pemantau Pemilu ) daerah Sinjai

Kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren pada diri manusia sebagai zoon politicon atau manusia politik. Jadi, pada intinya setiap manusia akan memiliki keinginan yang mutlak terhadap kekuasaan. Paling tidak, seseorang akan menjadi penguasa bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, organisasi yang dipimpinnya, bahkan pada tataran organisasi yang tertinggi sekalipun. Kekuasaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang terdapat dalam diri manusia atau sekelompok manusia, yang dapat mempengaruhi tingkah laku orang atau sekelompok orang.

Ketertarikan orang terhadap kekuasaan berasal dari keinginan dan tujuan yang ingin dicapainya. Konsekuensinya, dia akan berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasan tersebut. Salah satu jalan untuk memuluskan keinginan tersebut, diantaranya adalah dengan memilih jalur politik.

Hampir setiap hari, kita bisa membaca dimedia cetak maupun menonton di layar televisi, arena pertarungan pemilihan kepala daerah dihampir semua daerah di Indonesia ini. Arena yang merupakan jalan bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya, melalui pemilihan secara langsung. Arena ini juga merupakan ajang bagi calon untuk merebut simpati masyarakat, guna menduduki tampuk kekuasaan tertinggi didaerah. Akan tetapi perlu pula disimak, bahwa untuk memilih pemimpin diarena pilkada langsung, para calon memerlukan kendaraan. Kalau bisa dianalogikan, bahwa untuk mencapai daerah yang akan didatangi terutama daerah yang jaraknya jauh dan jalannya berliku, maka sudah pastilah dibutuhkan kendaraan, seperti mobil atau motor. Tapi untuk menuju podium utama kekuasaan ( Gubernur/Walikota/Bupati ) di daerah, yang dibutuhkan bukanlah kendaraan yang dimaksud sebelumnya, tapi yang dibutuhkan adalah kendaraan politik yakni partai politik.

Untuk mendapatkan kendaraan politik, maka dibutuhkan jalan yang sangat berliku. Selain diperlukan lobby tingkat tinggi, para calon juga mesti mengeluarkan biaya gono gini, seperti biaya ketok pintu untuk membuka pintu partai politik, hingga biaya “bahan bakar” kendaraan parpol yang sudah berhasil didapatkan. Semua mestilah dilakukan calon pemimpin didaerah, karena hanya dengan cara itulah, seperti yang diamanahkan undang-undang, calon bisa menginjakkan setapak langkah kakinya dipodium kekuasaan. Setelahnya, rakyatlah yang menentukan dibilik suara.

Untuk meraih dukungan rakyat pun bukanlah jalan yang mudah. Setiap calon mestilah merupakan figur populer dimata masyarakat. Tapi populer pun bukanlah garansi menjadi pemenang, karena masyarakat pemilih sekarang sudah cerdas memilih pemimpinnya. Mereka akan memilih calon yang berpihak pada kepentingan rakyat, calon yang menjanjikan perbaikan hak-hak dasar masyarakat, seperti gratisnya biaya pendidikan dan gratisnya biaya kesehatan. Selain itu, masyarakat juga pasti akan memperhitungkan calon yang memikirkan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur secara merata, karena rakyat sudah membayar pajak untuk itu.

Para calon Gubernur/Walikota/Bupati boleh saja berharap banyak memenangkan pertarungan, dengan mengandalkan jargon-jargon politik, janji dan visi misi yang dianggap lebih berpihak kepada masyarakat. Akan tetapi, tidak boleh dinafikkan peran pencitraan diri para calon, jauh sebelum pilkada dimulai. Pencitraan diri dengan melakukan sejumlah kegiatan sosial yang berpihak ke masyarakat, merupakan salah satu investasi politik jelang pilkada. Begitu pula dengan Gubernur/walikota/bupati yang berniat kembali mencalonkan diri, rakyat pasti sudah bisa menilai, apakah selama memerintah, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak masyarakat atau malah sebaliknya. Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adalah investasi politik yang positif, tapi kebijakan sebaliknya akan menjadi bumerang bagi calon Gubernur/walikota/bupati.

Agar kita tidak kehilangan momentum dalam membangun pencitraan positif, banyak momen yang bisa dimanfaatkan. Misalnya kegiatan silaturahmi dan melakukan kegiatan bersama rakyat pemilih, open house,mengunjungi kantong-kantong pemilih dan menyerap aspirasi mereka, berusaha memanfaatkan event yang ada, atau secara proaktif berprakarsa menciptakan event sebagai ajang berkomunikasi secara timbal balik dan berkesinambungan.

Aktivitas lain adalah, melakukan/membina relasi dengan kalangan pers dan tokoh masyarakat, termasuk dalam upaya membangun opini publik yang mampu mengangkat derajat citra positif diri. Aktivitas seperti ini bisa ditempatkan sebagai bagian investasi menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada).

Jalan Kekuasaan

“ Politik membutuhkan kehadiran dewa Janus – dewa yang dikalangan masyarakat Romawi dikenal bermuka dua – saat tertentu harus berjuang atas nama rakyat, tapi disisi lain bagaimana agar kekuasaan itu tetap didalam genggaman “. Pernyataan Maurice Duverger tersebut, mungkin saja ada benarnya saat melihat fenomena pemilihan kepala daerah, yang telah dan akan berlangsung dibeberapa daerah. Masyarakat pemilih sering dihadapkan pada segelintir pertanyaan yang berkecamuk dan membutuhkan jawaban. Mereka dipusingkan oleh calon-calon yang akan maju diarena pilkada, yang seringkali berkoar atas nama rakyat, yang berteriak bahwa dirinyalah calon yang membela kepentingan rakyat. Tapi disisi lain, seringkali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sangat jauh dari keberpihakan pada rakyat.

Bahkan lebih ironis lagi, dibeberapa daerah ada beberapa Gubernur/Walikota/Bupati yang berniat mencalonkan diri lagi ( incumbent ) sebagai kepala daerah, menempuh jalan melanggengkan kekuasaan, dengan melibatkan sejumlah pegawai negeri sipil sebagai tim pemenangan, dan berusaha mengarahkan dukungan PNS kepada dirinya. Cara-cara seperti ini tentu akan mencederai proses demokratisasi dinegara kita. Pelibatan PNS dalam kancah perpolitikan, akan menyebabkan PNS terkotak-kotak dan akan melupakan tupoksi-tugas pokok dan fungsi- sebagai pegawai negeri. Mencederai netralitas PNS dengan melibatkannya dalam kancah perpolitikan, pastilah pula akan mencederai rakyat yang sangat butuh pelayanan, dari orang-orang/PNS yang dipercayakan menjadi pelayan mereka dipemerintahan. Revisi terbatas UU 32 Tahun 2004, yang mengharuskan kepala daerah mengundurkan diri saat mendaftar sebagai calon kepala daerah, merupakan sinyal positif lahirnya pertarungan yang sehat. Hal itu juga, membuat netralitas pegawai negeri sipil semakin terjaga.

Pemilihan Umum tahun 2009 sudah diambang pintu. Aroma persaingan merebut simpati rakyat menuju “kursi utama” sudah mulai bertebaran. Begitupula para legislator/calon legislator, mulai mencari jalan mendapatkan/melanggengkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Jalan menuju kekuasaan, formulanya mulai diracik sedemikian rupa. Momen pemilihan kepala daerah pun dimanfaatkan sejumlah elite politik kita, sebagai ajang menabur janji dan simpati. Yakin saja, para legislator/calon legislator yang partai politiknya dikendarai salah satu calon kepala daerah, tidak akan bekerja sepenuh hati memenangkan calonnya pada pemilihan kepala daerah. Mereka memiliki tugas ganda, yakni bagaimana mendapatkan/melanggengkan keinginannya atau kursinya pada pemilu mendatang.

Dalam konteks perpolitikan, langkah-langkah mendapatkan/melanggengkan kekuasaan dengan jalan-jalan seperti itu, sah-sah saja. Disinilah peran masyarakat, yang berperan penting menjadi kontrol bagi elite politik kita ataupun kepala daerah yang berhasil duduk nantinya ditampuk kekuasaan. Masyarakat harus mengingatkan pemimpinnya, bilamana menempuh langkah yang tidak pro rakyat. Begitupula perwakilan rakyat dilembaga-lembaga perwakilan rakyat yang tidak mampu mengakomodir aspirasi rakyat.

Semua itu penting, karena pada dasarnya kekuasaan selain memiliki karakteristik hirarkhis, juga memiliki karakteristik piramida. Hal ini dibuktikan dengan adanya unsur kompetisi dan penguasaan keunggulan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, yang semakin keatas semakin mengerucut. Posisi elite akan selalu lebih sedikit dari massa secara kuantitas. Sehingga, elite politik dalam menelorkan sebuah kebijakan harus pro kepentingan rakyat, ketimbang mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Rakyat memiliki kekuatan untuk melakukan pressure terhadap elite yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, walaupun rakyat hanya berada dalam piramida yang paling bawah. (*)

Sinjai Bersatu dan Kedewasaan Berpolitik

Sinjai Bersatu dan Kedewasaan Berpolitik

( Refleksi Hari Jadi Sinjai Ke-444, Tgl 27 Februari 2008 )

Tgl 27 Februari 2008, Kabupaten Sinjai genap berusia 444. Sebuah usia yang terbilang matang dalam membangun dinamika masyarakatnya. Perayaan hari jadi Kabupaten Sinjai ke-444 tahun ini merupakan momentum bersejarah dalam menyongsong era kebangkitan masyarakat. Dinamika pembangunan Kabupaten Sinjai, dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman. Umur empat ratus tahun lebih ini, memang sudah tua dan matang untuk sebuah daerah. Akan tetapi sejauh mana kemajuan yang diperoleh Sinjai, dibandingkan dengan daerah yang masih berusia muda ?. Melakukan evaluasi dan tidak sekedar membanggakan atas apa yang telah dicapai, hal yang perlu dilakukan. Membawa Sinjai menjadi daerah yang sejajar dengan daerah lain, dengan dukungan letak geografis yang potensial merupakan sebuah peluang, tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal kabupaten Sinjai.

Nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal kabupaten Sinjai, turut dipengaruhi dua kebudayaan dominan, yakni Bugis dan Makassar, yang mengapit kabupaten Sinjai secara geografis. Sejarah menunjukkan bahwa dimasa lalu, kebudayaan Sinjai tidak terpola berdasarkan etnik, tetapi berdasarkan pada kelompok-kelompok kecil pemukiman yang disebut dengan wanua. Wanua ini kemudian dipimpin oleh seorang Matoa atau Gella. Dalam perkembangannya, wanua-wanua kecil tadi disatukan dan bersatu dengan munculnya Tomanurung. Kehadiran Tomanurung di Sinjai sendiri, sangat berbeda dengan Tomanurung pada umumnya di Sulawesi Selatan yang selalu dihubungkan sebagai dewa penyelamat dari sebuah chaos atau sianre bale ( pertikaian), akibat pertentangan-pertentangan beberapa wanua yang tak kunjung berakhir, ( Muhannis, 2006 ). Tomanurung di Sinjai selalu berhubungan atas perannya sebagai pembuka lahan-lahan pertanian, sehingga selalu disebut Mula Timpa’E Tana.

Dalam proses perkembangan sejarah Sinjai, kehadiran Tomanurung mampu mempersatukan seluruh wanua-wanua yang ada untuk menjadi dua konfederasi, yakni Pitu Limpoe diwilayah pegunungan dan Tellu Limpoe diwilayah pantai. Kedua konfederasi inilah membawahi beberapa wilayah adat yang tetap otonom, yang mengikat perlindungan kepada sebuah kerajaan besar yang disebut makkarolang, seperti Karampuang kepada Lamatti, Paccing kepada Tondong dan Rombo kepada Bulo-Bulo. Wilayah-wilayah adat tadi kebanyakan adalah pusat-pusat ritual. Dalam status makkarolangnya mereka, memiliki sifat yang tidak mengikat sehingga dapat beralih kepada kerajaan lain tanpa kekerasan, seperti beralihnya wilayah adat Kanrung dan Bongkong yang awalnya makkarolang kepada Manimpahoi beralih kepada Tondong, (Muhannis, 2006). Dengan dukungan 10 kerajaan besar, ditambah dengan wilayah-wilayah adat yang makkarolang pada salah satu kerajaan anggota dua konfederasi tadi inilah yang terbingkai menjadi Sinjai yang dikenal saat ini.

Muncul pertanyaan, apakah kedua konfederasi inilah yang terpaksa dijadikan kabupaten, ataukah mengikuti penamaan kolonial demi tuntutan administratif selanjutnya dibentuk menjadi onderafdeling, lalu kabupaten oleh pemerintah Indonesia. Mungkin ini hanyalah keraguan yang tidak beralasan. Tetapi, kalau kita kaji lebih jauh, pembenaran ini dapat terbukti manakala kita hubungkan identitas kedua konfederasi dari segi etnik atau linguistiknya (bahasa), yakni Pitu Limpoe yang dominan etnik Makassar ( Konjo ), serta Tellu Limpoe dengan dasar etnik Bugis. Dalam perjalanan sejarahnya, ikatan primordial linguistik serta beberapa jejak kultural lainnya, tidak pernah menjadi alasan untuk tidak saling berinteraksi dan berhubungan sesama pendukung kebudayaan tertentu. Sesama anggota tak mempunyai batas-batas wilayah yang sakral yang diungkapkan dengan,” Maddume Sipalalo, Mabbele tessi Pasoro, Lempa’ Asefa Mappanessa “. Inilah yang kemudian menjadi modal betapa utuhnya kesepuluh kerajaan ditambah daerah bawahannya, yang terbingkai kedalam Sinjai yang utuh dan damai.

Meski demikian, kondisi tersebut jangan membuat kita lengah dan merasa bangga. Zaman yang semakin hari semakin berkembangan, akan menunjukkan bahwa sebuah wilayah yang dibangun atas dasar hubungan genealogis linguistik, sewaktu-waktu dapat menjadi arena rivalitas etnik. Untuk menghindari hal tersebut, dibutuhkan beberapa perekat yang dapat mengikat bingkai Sinjai agar tetap utuh. Perekat yang paling ampuh adalah dengan tetap memelihara hubungan yang kuat antar semua elemen masyarakat, tanpa dikotomi masyarakat konjo dengan bugis atau Pitu Limpoe dengan Tellu Limpoe. Selain itu, perekat lainnya adalah mengidentifikasi faktor pencetusnya seperti anggapan pemusatan pembangunan di perkotaan atau wilayah lain di Sinjai ini, dominasi rumpun tertentu, isu pendatang atau penduduk asli ataupun perbedaan politik.

Kedewasaan Berpolitik Jelang Pilkada Sinjai

Kalau tidak ada aral melintang, Kabupaten Sinjai akan menggelar hajatan besar pada bulan Juni 2008 mendatang. Pesta demokrasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sinjai periode 2008-2013 yang baru pertama kali digelar di bumi Massedi ini, dan kali pertama memberikan kebebasan kepada masyarakat Sinjai untuk memilih pemimpinnya lima tahun kedepan. Ketika kita dihadapkan pada sebuah pilihan, maka pemimpin yang terbagus, tentulah itu yang kita pilih. Tapi, dalam konteks manakah yang pemimpin yang terbagus itu !?. Bila ditinjau dari aspek kriteria figur, maka akan muncul jawaban yang beragam. Namun apabila pertanyaan tersebut ditujukan langsung keseluruh pemilih rakyat Sinjai, maka jawaban yang muncul akan subjektif berdasarkan multi dimensi kepentingan. Pada hari “H” nanti, usaha dan kerja keras akan dilakukan aktor-aktor politik dalam membangun konsolidasi dan meraih simpati 150 ribu lebih pemilih rakyat Sinjai. Hanya saja, yang tetap harus dijaga sudah tentu adalah menghindari gesekan akibat konflik kepentingan dari para aktor politik, dan dikhawatirkan melibatkan masyarakat sipil yang awam akan politik. Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan adalah kedewasaan berpolitik.

Meski kedewasaan berpolitik diperlukan dalam menciptakan pesta demokrasi yang aman, tapi kedewasaan berpolitik tidak serta merta bisa terbentuk dan menjadi garansi bagi terciptanya pilkada damai dan aman. Kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak bagi seorang politisi, ukuran kedewasaan berpolitik bisa dilihat ketika seorang politisi kalah dalam sebuah proses pemilihan. Apakah dia kemudian menerima kekalahan tersebut dengan legowo, atau melakukan rekayasa dan manuver lain untuk balik menjatuhkan lawannya. Ada banyak contoh yang bisa kita jadikan rujukan kedewasaan dalam berpolitik. Kita bisa lihat saat pertarungan George W. Bush dan Al Gore, saat bertarung pada pemilihan presiden Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Ketika menyadari dirinya kalah dalam pemungutan suara, Al Gore langsung mendatangi George W. Bush dan memberikan ucapan selamat. Hal ini menunjukkan betapa sportifitas politik sangat kental ditunjukkan oleh keduanya.

Berbeda dengan Indonesia, sekarang ini politik di Indonesia dipahami sebagai perebutan kekuasaan semata-mata, bahkan terkadang mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Tentu saja hal demikian bukanlah sikap yang dewasa secara politis.
Kalau dulu pada zaman pra-sejarah, seorang pemimpin berani mengorbankan nyawa untuk keselamatan kelompok atau negara, sekarang seorang pemimpin justru mengorbankan kelompok untuk keselamatan dirinya. Keberadaan partai politik harusnya bukan untuk memunculkan konflik. Partai adalah instrumen yang mewadahi perbedaan aspirasi dan persepsi terhadap kebijakan negara. Idealnya, partai sudah memiliki kedewasaan politik, terutama adalah elitenya, lalu diturunkan kepada seluruh kadernya.

Terdapat gejala umum bahwa transisi demokrasi yang gagal di berbagai negara menunjukkan penyebab kegagalan berdemokrasi yaitu para elite politik belum menyadari sepenuhnya makna dari nilai-nilai demokrasi. Padahal nilai luhur dari demokrasi yakni, kesiapan mental menang dan kalah yang didasari pada nilai-nilai moral. Mental seperti itu rupanya belum dimiliki dan dihayati oleh sebagian elite politik kita, sehingga elite sulit dan tidak mau menerima kekalahan dalam kompetisi politik,baik pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) diberbagai daerah.

Elite-elite politik dikabupaten Sinjai, pun sebentar lagi akan dihadapkan pada persoalan kedewasaan berpolitik. Jika kita merujuk pada masa pra sejarah, calon-calon pemimpin-pemimpin itu akan diadu dalam sebuah arena untuk bertarung siapa yang menang dialah yang menjadi pemimpin, hal ini tidak mengorbankan rakyatnya atau kelompoknya, sekaligus menunjukkan keberanian berkorban untuk melindungi kelompoknya.Tetapi konteks demokrasi menabukan hal tersebut, demokrasi meniscayakan anti kekerasan atau non violence. Demokrasi menyiasati “pertarungan” itu dengan melibatkan rakyatnya, siapa yang didukung oleh suara terbanyak dialah yang akan tampil sebagai pemenang.

Di Kabupaten Sinjai, gaung perebutan tampuk pimpinan daerah mulai terasa. Para calon Bupati mulai menebar pesona. Ragam media mulai dipergunakan dan ditebar dimana-mana untuk menarik simpati rakyat pemilih. Inilah kelebihan dari demokrasi, karena setiap warga akan terwakili dalam menentukan pilihannya, siapa dari sekian banyak atribut pilkada tersebut yang dirasa mampu membawa perubahan bagi masyarakat Sinjai. Hanya saja yang perlu diwaspadai adalah upaya jual beli suara, karena hal tersebut jelas akan mencederai kedewasaan berpolitik para elite kita. Selagi kita belum menjatuhkan pilihan, marilah dengan sikap bijak disertai pikiran yang jernih dan mengedepankan nurani masing-masing, untuk menjatuhkan pilihan kita kepada calon pemimpin daerah kita, yang benar-benar memahami filosofi “pemimpin sejati adalah pelayan rakyat”.

Filosofi pemimpin sejati adalah pelayan rakyat, saya rasa sangat sejalan dengan semangat perjanjian Topekkong. Kabupaten Sinjai dalam sejarahnya adalah “pelayan” bagi dua kerajaan yang sedang bertikai kala itu, Kerajaan Gowa dan Bone. Raja Bulo-bulo ke-VI La Mappasokko Lao Manoe’ Tanru’na dengan arif dan bijaksana melayani dan menjamu kedua kerajaan dalam sebuah meja perundingan damai. Perjanjian damai kedua kerajaan pun tertuang dalam perjanjian Topekkong. Inilah sukses pertama raja di Sinjai menjadi pemimpin sejati kala itu, karena mampu menjadi “pelayan” bagi dua kerajaan. Perjanjian damai tersebut diakhiri dengan penanaman batu besar atau Lamung Patue’ Ri Topekkong. Penanaman batu bermakna bahwa batu yang tertanam sebagai simbol menguburkan sikap keras yang dapat merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan yang tak tergoyahkan.

Dalam konteks kekinian, dan jelang detik-detik pemilihan Bupati dan wakil bupati Sinjai, sikap keras dan sikap yang selalu mementingkan kepentingan pribadi yang bisa merugikan rakyat Sinjai harus sejak dini dikubur dalam-dalam. Semangat perjanjian topekkong,”Sisappareng Deceng teng Sisappareng ja’ ( saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan ) dan Sirui Menre’ teng Sirui No’ ( saling menaikkan dan tidak saling menjatuhkan ), harus senantiasa menjadi rujukan dan dipatrikan dalam sanubari masyarakat Sinjai. Untuk menghindari hal-hal terburuk menjelang pilkada Sinjai, maka semangat perjanjian topekkong bisa dijadikan perekat yang dapat mengikat bingkai Sinjai agar tetap utuh.

Kalau perekat ini dapat dimanifestasikan, maka kebanggaan memiliki Sinjai akan semakin kuat.Yang terpenting adalah kedewasaan kita dalam menyikapi sesuatu, termasuk menyikapi iklim perpolitikan di Sinjai jelang pilkada. Selain itu, yang lebih penting juga, adalah keberanian kita untuk untuk menerima perbedaan. Pilihan boleh beda, tapi kita tetap dalam bingkai persaudaraan yang sama yakni bingkai Sinjai Bersatu.

Sebagai penutup, saya ucapkan selamat hari jadi Sinjai ke-444. Semoga Sinjai menjadi daerah terdepan dalam pembangunan di Sulawesi Selatan. Mari tetap kembangkan layar bahtera Sinjai meski ombak dan gelombang senantiasa menerpa.