19 Juli 2008

Investasi Politik Di Arena Pilkada

Oleh : Zainal Abidin Ridwan

Koordinator KIPP ( Komite Independen Pemantau Pemilu ) daerah Sinjai

Kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren pada diri manusia sebagai zoon politicon atau manusia politik. Jadi, pada intinya setiap manusia akan memiliki keinginan yang mutlak terhadap kekuasaan. Paling tidak, seseorang akan menjadi penguasa bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, organisasi yang dipimpinnya, bahkan pada tataran organisasi yang tertinggi sekalipun. Kekuasaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang terdapat dalam diri manusia atau sekelompok manusia, yang dapat mempengaruhi tingkah laku orang atau sekelompok orang.

Ketertarikan orang terhadap kekuasaan berasal dari keinginan dan tujuan yang ingin dicapainya. Konsekuensinya, dia akan berusaha melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasan tersebut. Salah satu jalan untuk memuluskan keinginan tersebut, diantaranya adalah dengan memilih jalur politik.

Hampir setiap hari, kita bisa membaca dimedia cetak maupun menonton di layar televisi, arena pertarungan pemilihan kepala daerah dihampir semua daerah di Indonesia ini. Arena yang merupakan jalan bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya, melalui pemilihan secara langsung. Arena ini juga merupakan ajang bagi calon untuk merebut simpati masyarakat, guna menduduki tampuk kekuasaan tertinggi didaerah. Akan tetapi perlu pula disimak, bahwa untuk memilih pemimpin diarena pilkada langsung, para calon memerlukan kendaraan. Kalau bisa dianalogikan, bahwa untuk mencapai daerah yang akan didatangi terutama daerah yang jaraknya jauh dan jalannya berliku, maka sudah pastilah dibutuhkan kendaraan, seperti mobil atau motor. Tapi untuk menuju podium utama kekuasaan ( Gubernur/Walikota/Bupati ) di daerah, yang dibutuhkan bukanlah kendaraan yang dimaksud sebelumnya, tapi yang dibutuhkan adalah kendaraan politik yakni partai politik.

Untuk mendapatkan kendaraan politik, maka dibutuhkan jalan yang sangat berliku. Selain diperlukan lobby tingkat tinggi, para calon juga mesti mengeluarkan biaya gono gini, seperti biaya ketok pintu untuk membuka pintu partai politik, hingga biaya “bahan bakar” kendaraan parpol yang sudah berhasil didapatkan. Semua mestilah dilakukan calon pemimpin didaerah, karena hanya dengan cara itulah, seperti yang diamanahkan undang-undang, calon bisa menginjakkan setapak langkah kakinya dipodium kekuasaan. Setelahnya, rakyatlah yang menentukan dibilik suara.

Untuk meraih dukungan rakyat pun bukanlah jalan yang mudah. Setiap calon mestilah merupakan figur populer dimata masyarakat. Tapi populer pun bukanlah garansi menjadi pemenang, karena masyarakat pemilih sekarang sudah cerdas memilih pemimpinnya. Mereka akan memilih calon yang berpihak pada kepentingan rakyat, calon yang menjanjikan perbaikan hak-hak dasar masyarakat, seperti gratisnya biaya pendidikan dan gratisnya biaya kesehatan. Selain itu, masyarakat juga pasti akan memperhitungkan calon yang memikirkan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur secara merata, karena rakyat sudah membayar pajak untuk itu.

Para calon Gubernur/Walikota/Bupati boleh saja berharap banyak memenangkan pertarungan, dengan mengandalkan jargon-jargon politik, janji dan visi misi yang dianggap lebih berpihak kepada masyarakat. Akan tetapi, tidak boleh dinafikkan peran pencitraan diri para calon, jauh sebelum pilkada dimulai. Pencitraan diri dengan melakukan sejumlah kegiatan sosial yang berpihak ke masyarakat, merupakan salah satu investasi politik jelang pilkada. Begitu pula dengan Gubernur/walikota/bupati yang berniat kembali mencalonkan diri, rakyat pasti sudah bisa menilai, apakah selama memerintah, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak masyarakat atau malah sebaliknya. Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adalah investasi politik yang positif, tapi kebijakan sebaliknya akan menjadi bumerang bagi calon Gubernur/walikota/bupati.

Agar kita tidak kehilangan momentum dalam membangun pencitraan positif, banyak momen yang bisa dimanfaatkan. Misalnya kegiatan silaturahmi dan melakukan kegiatan bersama rakyat pemilih, open house,mengunjungi kantong-kantong pemilih dan menyerap aspirasi mereka, berusaha memanfaatkan event yang ada, atau secara proaktif berprakarsa menciptakan event sebagai ajang berkomunikasi secara timbal balik dan berkesinambungan.

Aktivitas lain adalah, melakukan/membina relasi dengan kalangan pers dan tokoh masyarakat, termasuk dalam upaya membangun opini publik yang mampu mengangkat derajat citra positif diri. Aktivitas seperti ini bisa ditempatkan sebagai bagian investasi menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada).

Jalan Kekuasaan

“ Politik membutuhkan kehadiran dewa Janus – dewa yang dikalangan masyarakat Romawi dikenal bermuka dua – saat tertentu harus berjuang atas nama rakyat, tapi disisi lain bagaimana agar kekuasaan itu tetap didalam genggaman “. Pernyataan Maurice Duverger tersebut, mungkin saja ada benarnya saat melihat fenomena pemilihan kepala daerah, yang telah dan akan berlangsung dibeberapa daerah. Masyarakat pemilih sering dihadapkan pada segelintir pertanyaan yang berkecamuk dan membutuhkan jawaban. Mereka dipusingkan oleh calon-calon yang akan maju diarena pilkada, yang seringkali berkoar atas nama rakyat, yang berteriak bahwa dirinyalah calon yang membela kepentingan rakyat. Tapi disisi lain, seringkali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sangat jauh dari keberpihakan pada rakyat.

Bahkan lebih ironis lagi, dibeberapa daerah ada beberapa Gubernur/Walikota/Bupati yang berniat mencalonkan diri lagi ( incumbent ) sebagai kepala daerah, menempuh jalan melanggengkan kekuasaan, dengan melibatkan sejumlah pegawai negeri sipil sebagai tim pemenangan, dan berusaha mengarahkan dukungan PNS kepada dirinya. Cara-cara seperti ini tentu akan mencederai proses demokratisasi dinegara kita. Pelibatan PNS dalam kancah perpolitikan, akan menyebabkan PNS terkotak-kotak dan akan melupakan tupoksi-tugas pokok dan fungsi- sebagai pegawai negeri. Mencederai netralitas PNS dengan melibatkannya dalam kancah perpolitikan, pastilah pula akan mencederai rakyat yang sangat butuh pelayanan, dari orang-orang/PNS yang dipercayakan menjadi pelayan mereka dipemerintahan. Revisi terbatas UU 32 Tahun 2004, yang mengharuskan kepala daerah mengundurkan diri saat mendaftar sebagai calon kepala daerah, merupakan sinyal positif lahirnya pertarungan yang sehat. Hal itu juga, membuat netralitas pegawai negeri sipil semakin terjaga.

Pemilihan Umum tahun 2009 sudah diambang pintu. Aroma persaingan merebut simpati rakyat menuju “kursi utama” sudah mulai bertebaran. Begitupula para legislator/calon legislator, mulai mencari jalan mendapatkan/melanggengkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Jalan menuju kekuasaan, formulanya mulai diracik sedemikian rupa. Momen pemilihan kepala daerah pun dimanfaatkan sejumlah elite politik kita, sebagai ajang menabur janji dan simpati. Yakin saja, para legislator/calon legislator yang partai politiknya dikendarai salah satu calon kepala daerah, tidak akan bekerja sepenuh hati memenangkan calonnya pada pemilihan kepala daerah. Mereka memiliki tugas ganda, yakni bagaimana mendapatkan/melanggengkan keinginannya atau kursinya pada pemilu mendatang.

Dalam konteks perpolitikan, langkah-langkah mendapatkan/melanggengkan kekuasaan dengan jalan-jalan seperti itu, sah-sah saja. Disinilah peran masyarakat, yang berperan penting menjadi kontrol bagi elite politik kita ataupun kepala daerah yang berhasil duduk nantinya ditampuk kekuasaan. Masyarakat harus mengingatkan pemimpinnya, bilamana menempuh langkah yang tidak pro rakyat. Begitupula perwakilan rakyat dilembaga-lembaga perwakilan rakyat yang tidak mampu mengakomodir aspirasi rakyat.

Semua itu penting, karena pada dasarnya kekuasaan selain memiliki karakteristik hirarkhis, juga memiliki karakteristik piramida. Hal ini dibuktikan dengan adanya unsur kompetisi dan penguasaan keunggulan dari satu pihak terhadap pihak lainnya, yang semakin keatas semakin mengerucut. Posisi elite akan selalu lebih sedikit dari massa secara kuantitas. Sehingga, elite politik dalam menelorkan sebuah kebijakan harus pro kepentingan rakyat, ketimbang mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Rakyat memiliki kekuatan untuk melakukan pressure terhadap elite yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, walaupun rakyat hanya berada dalam piramida yang paling bawah. (*)

0 komentar: