19 Juli 2008

Sinjai Bersatu dan Kedewasaan Berpolitik

Sinjai Bersatu dan Kedewasaan Berpolitik

( Refleksi Hari Jadi Sinjai Ke-444, Tgl 27 Februari 2008 )

Tgl 27 Februari 2008, Kabupaten Sinjai genap berusia 444. Sebuah usia yang terbilang matang dalam membangun dinamika masyarakatnya. Perayaan hari jadi Kabupaten Sinjai ke-444 tahun ini merupakan momentum bersejarah dalam menyongsong era kebangkitan masyarakat. Dinamika pembangunan Kabupaten Sinjai, dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan seiring dengan tuntutan zaman. Umur empat ratus tahun lebih ini, memang sudah tua dan matang untuk sebuah daerah. Akan tetapi sejauh mana kemajuan yang diperoleh Sinjai, dibandingkan dengan daerah yang masih berusia muda ?. Melakukan evaluasi dan tidak sekedar membanggakan atas apa yang telah dicapai, hal yang perlu dilakukan. Membawa Sinjai menjadi daerah yang sejajar dengan daerah lain, dengan dukungan letak geografis yang potensial merupakan sebuah peluang, tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal kabupaten Sinjai.

Nilai-nilai budaya luhur dan kearifan lokal kabupaten Sinjai, turut dipengaruhi dua kebudayaan dominan, yakni Bugis dan Makassar, yang mengapit kabupaten Sinjai secara geografis. Sejarah menunjukkan bahwa dimasa lalu, kebudayaan Sinjai tidak terpola berdasarkan etnik, tetapi berdasarkan pada kelompok-kelompok kecil pemukiman yang disebut dengan wanua. Wanua ini kemudian dipimpin oleh seorang Matoa atau Gella. Dalam perkembangannya, wanua-wanua kecil tadi disatukan dan bersatu dengan munculnya Tomanurung. Kehadiran Tomanurung di Sinjai sendiri, sangat berbeda dengan Tomanurung pada umumnya di Sulawesi Selatan yang selalu dihubungkan sebagai dewa penyelamat dari sebuah chaos atau sianre bale ( pertikaian), akibat pertentangan-pertentangan beberapa wanua yang tak kunjung berakhir, ( Muhannis, 2006 ). Tomanurung di Sinjai selalu berhubungan atas perannya sebagai pembuka lahan-lahan pertanian, sehingga selalu disebut Mula Timpa’E Tana.

Dalam proses perkembangan sejarah Sinjai, kehadiran Tomanurung mampu mempersatukan seluruh wanua-wanua yang ada untuk menjadi dua konfederasi, yakni Pitu Limpoe diwilayah pegunungan dan Tellu Limpoe diwilayah pantai. Kedua konfederasi inilah membawahi beberapa wilayah adat yang tetap otonom, yang mengikat perlindungan kepada sebuah kerajaan besar yang disebut makkarolang, seperti Karampuang kepada Lamatti, Paccing kepada Tondong dan Rombo kepada Bulo-Bulo. Wilayah-wilayah adat tadi kebanyakan adalah pusat-pusat ritual. Dalam status makkarolangnya mereka, memiliki sifat yang tidak mengikat sehingga dapat beralih kepada kerajaan lain tanpa kekerasan, seperti beralihnya wilayah adat Kanrung dan Bongkong yang awalnya makkarolang kepada Manimpahoi beralih kepada Tondong, (Muhannis, 2006). Dengan dukungan 10 kerajaan besar, ditambah dengan wilayah-wilayah adat yang makkarolang pada salah satu kerajaan anggota dua konfederasi tadi inilah yang terbingkai menjadi Sinjai yang dikenal saat ini.

Muncul pertanyaan, apakah kedua konfederasi inilah yang terpaksa dijadikan kabupaten, ataukah mengikuti penamaan kolonial demi tuntutan administratif selanjutnya dibentuk menjadi onderafdeling, lalu kabupaten oleh pemerintah Indonesia. Mungkin ini hanyalah keraguan yang tidak beralasan. Tetapi, kalau kita kaji lebih jauh, pembenaran ini dapat terbukti manakala kita hubungkan identitas kedua konfederasi dari segi etnik atau linguistiknya (bahasa), yakni Pitu Limpoe yang dominan etnik Makassar ( Konjo ), serta Tellu Limpoe dengan dasar etnik Bugis. Dalam perjalanan sejarahnya, ikatan primordial linguistik serta beberapa jejak kultural lainnya, tidak pernah menjadi alasan untuk tidak saling berinteraksi dan berhubungan sesama pendukung kebudayaan tertentu. Sesama anggota tak mempunyai batas-batas wilayah yang sakral yang diungkapkan dengan,” Maddume Sipalalo, Mabbele tessi Pasoro, Lempa’ Asefa Mappanessa “. Inilah yang kemudian menjadi modal betapa utuhnya kesepuluh kerajaan ditambah daerah bawahannya, yang terbingkai kedalam Sinjai yang utuh dan damai.

Meski demikian, kondisi tersebut jangan membuat kita lengah dan merasa bangga. Zaman yang semakin hari semakin berkembangan, akan menunjukkan bahwa sebuah wilayah yang dibangun atas dasar hubungan genealogis linguistik, sewaktu-waktu dapat menjadi arena rivalitas etnik. Untuk menghindari hal tersebut, dibutuhkan beberapa perekat yang dapat mengikat bingkai Sinjai agar tetap utuh. Perekat yang paling ampuh adalah dengan tetap memelihara hubungan yang kuat antar semua elemen masyarakat, tanpa dikotomi masyarakat konjo dengan bugis atau Pitu Limpoe dengan Tellu Limpoe. Selain itu, perekat lainnya adalah mengidentifikasi faktor pencetusnya seperti anggapan pemusatan pembangunan di perkotaan atau wilayah lain di Sinjai ini, dominasi rumpun tertentu, isu pendatang atau penduduk asli ataupun perbedaan politik.

Kedewasaan Berpolitik Jelang Pilkada Sinjai

Kalau tidak ada aral melintang, Kabupaten Sinjai akan menggelar hajatan besar pada bulan Juni 2008 mendatang. Pesta demokrasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sinjai periode 2008-2013 yang baru pertama kali digelar di bumi Massedi ini, dan kali pertama memberikan kebebasan kepada masyarakat Sinjai untuk memilih pemimpinnya lima tahun kedepan. Ketika kita dihadapkan pada sebuah pilihan, maka pemimpin yang terbagus, tentulah itu yang kita pilih. Tapi, dalam konteks manakah yang pemimpin yang terbagus itu !?. Bila ditinjau dari aspek kriteria figur, maka akan muncul jawaban yang beragam. Namun apabila pertanyaan tersebut ditujukan langsung keseluruh pemilih rakyat Sinjai, maka jawaban yang muncul akan subjektif berdasarkan multi dimensi kepentingan. Pada hari “H” nanti, usaha dan kerja keras akan dilakukan aktor-aktor politik dalam membangun konsolidasi dan meraih simpati 150 ribu lebih pemilih rakyat Sinjai. Hanya saja, yang tetap harus dijaga sudah tentu adalah menghindari gesekan akibat konflik kepentingan dari para aktor politik, dan dikhawatirkan melibatkan masyarakat sipil yang awam akan politik. Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan adalah kedewasaan berpolitik.

Meski kedewasaan berpolitik diperlukan dalam menciptakan pesta demokrasi yang aman, tapi kedewasaan berpolitik tidak serta merta bisa terbentuk dan menjadi garansi bagi terciptanya pilkada damai dan aman. Kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak bagi seorang politisi, ukuran kedewasaan berpolitik bisa dilihat ketika seorang politisi kalah dalam sebuah proses pemilihan. Apakah dia kemudian menerima kekalahan tersebut dengan legowo, atau melakukan rekayasa dan manuver lain untuk balik menjatuhkan lawannya. Ada banyak contoh yang bisa kita jadikan rujukan kedewasaan dalam berpolitik. Kita bisa lihat saat pertarungan George W. Bush dan Al Gore, saat bertarung pada pemilihan presiden Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Ketika menyadari dirinya kalah dalam pemungutan suara, Al Gore langsung mendatangi George W. Bush dan memberikan ucapan selamat. Hal ini menunjukkan betapa sportifitas politik sangat kental ditunjukkan oleh keduanya.

Berbeda dengan Indonesia, sekarang ini politik di Indonesia dipahami sebagai perebutan kekuasaan semata-mata, bahkan terkadang mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar. Tentu saja hal demikian bukanlah sikap yang dewasa secara politis.
Kalau dulu pada zaman pra-sejarah, seorang pemimpin berani mengorbankan nyawa untuk keselamatan kelompok atau negara, sekarang seorang pemimpin justru mengorbankan kelompok untuk keselamatan dirinya. Keberadaan partai politik harusnya bukan untuk memunculkan konflik. Partai adalah instrumen yang mewadahi perbedaan aspirasi dan persepsi terhadap kebijakan negara. Idealnya, partai sudah memiliki kedewasaan politik, terutama adalah elitenya, lalu diturunkan kepada seluruh kadernya.

Terdapat gejala umum bahwa transisi demokrasi yang gagal di berbagai negara menunjukkan penyebab kegagalan berdemokrasi yaitu para elite politik belum menyadari sepenuhnya makna dari nilai-nilai demokrasi. Padahal nilai luhur dari demokrasi yakni, kesiapan mental menang dan kalah yang didasari pada nilai-nilai moral. Mental seperti itu rupanya belum dimiliki dan dihayati oleh sebagian elite politik kita, sehingga elite sulit dan tidak mau menerima kekalahan dalam kompetisi politik,baik pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) diberbagai daerah.

Elite-elite politik dikabupaten Sinjai, pun sebentar lagi akan dihadapkan pada persoalan kedewasaan berpolitik. Jika kita merujuk pada masa pra sejarah, calon-calon pemimpin-pemimpin itu akan diadu dalam sebuah arena untuk bertarung siapa yang menang dialah yang menjadi pemimpin, hal ini tidak mengorbankan rakyatnya atau kelompoknya, sekaligus menunjukkan keberanian berkorban untuk melindungi kelompoknya.Tetapi konteks demokrasi menabukan hal tersebut, demokrasi meniscayakan anti kekerasan atau non violence. Demokrasi menyiasati “pertarungan” itu dengan melibatkan rakyatnya, siapa yang didukung oleh suara terbanyak dialah yang akan tampil sebagai pemenang.

Di Kabupaten Sinjai, gaung perebutan tampuk pimpinan daerah mulai terasa. Para calon Bupati mulai menebar pesona. Ragam media mulai dipergunakan dan ditebar dimana-mana untuk menarik simpati rakyat pemilih. Inilah kelebihan dari demokrasi, karena setiap warga akan terwakili dalam menentukan pilihannya, siapa dari sekian banyak atribut pilkada tersebut yang dirasa mampu membawa perubahan bagi masyarakat Sinjai. Hanya saja yang perlu diwaspadai adalah upaya jual beli suara, karena hal tersebut jelas akan mencederai kedewasaan berpolitik para elite kita. Selagi kita belum menjatuhkan pilihan, marilah dengan sikap bijak disertai pikiran yang jernih dan mengedepankan nurani masing-masing, untuk menjatuhkan pilihan kita kepada calon pemimpin daerah kita, yang benar-benar memahami filosofi “pemimpin sejati adalah pelayan rakyat”.

Filosofi pemimpin sejati adalah pelayan rakyat, saya rasa sangat sejalan dengan semangat perjanjian Topekkong. Kabupaten Sinjai dalam sejarahnya adalah “pelayan” bagi dua kerajaan yang sedang bertikai kala itu, Kerajaan Gowa dan Bone. Raja Bulo-bulo ke-VI La Mappasokko Lao Manoe’ Tanru’na dengan arif dan bijaksana melayani dan menjamu kedua kerajaan dalam sebuah meja perundingan damai. Perjanjian damai kedua kerajaan pun tertuang dalam perjanjian Topekkong. Inilah sukses pertama raja di Sinjai menjadi pemimpin sejati kala itu, karena mampu menjadi “pelayan” bagi dua kerajaan. Perjanjian damai tersebut diakhiri dengan penanaman batu besar atau Lamung Patue’ Ri Topekkong. Penanaman batu bermakna bahwa batu yang tertanam sebagai simbol menguburkan sikap keras yang dapat merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol persatuan yang tak tergoyahkan.

Dalam konteks kekinian, dan jelang detik-detik pemilihan Bupati dan wakil bupati Sinjai, sikap keras dan sikap yang selalu mementingkan kepentingan pribadi yang bisa merugikan rakyat Sinjai harus sejak dini dikubur dalam-dalam. Semangat perjanjian topekkong,”Sisappareng Deceng teng Sisappareng ja’ ( saling mencari kebaikan, tidak saling mencari kejelekan ) dan Sirui Menre’ teng Sirui No’ ( saling menaikkan dan tidak saling menjatuhkan ), harus senantiasa menjadi rujukan dan dipatrikan dalam sanubari masyarakat Sinjai. Untuk menghindari hal-hal terburuk menjelang pilkada Sinjai, maka semangat perjanjian topekkong bisa dijadikan perekat yang dapat mengikat bingkai Sinjai agar tetap utuh.

Kalau perekat ini dapat dimanifestasikan, maka kebanggaan memiliki Sinjai akan semakin kuat.Yang terpenting adalah kedewasaan kita dalam menyikapi sesuatu, termasuk menyikapi iklim perpolitikan di Sinjai jelang pilkada. Selain itu, yang lebih penting juga, adalah keberanian kita untuk untuk menerima perbedaan. Pilihan boleh beda, tapi kita tetap dalam bingkai persaudaraan yang sama yakni bingkai Sinjai Bersatu.

Sebagai penutup, saya ucapkan selamat hari jadi Sinjai ke-444. Semoga Sinjai menjadi daerah terdepan dalam pembangunan di Sulawesi Selatan. Mari tetap kembangkan layar bahtera Sinjai meski ombak dan gelombang senantiasa menerpa.

0 komentar: