24 Juni 2009

Karampuang, dusun sakral penuh mitos

Terbentuknya dusun Karampuang di desa Tompobulu, kab. Sinjai, tidak terlepas dari kehadiran sosok yang tidak dikenal dipuncak sebuah bukit yang bernama Batu Lappa dan sangat dikeramatkan hingga kini yang dalam khasanah sejarah dan budaya Sulawesi Selatan dikenal dengan To Manurung. To artinya orang sedangkan Manurung artinya yang turun atau yang tiba-tiba muncul dan tak diketahui asal usulnya. To Manurung sebagai sosok yang tidak dikenal tersebut membangkitkan kekaguman tersendiri dari seluruh warga yang datang menyaksikan sosok tak dikenal tersebut . Begitu kharismatiknya, pada saat masyarakat berbondong-bondong ke tempat kehadiran To Manurung tersebut, bulu kuduk warga merinding dan secara spontan merasakan Karampulue yang artinya berdiri buluroma. Kata Karampulue akhirnya dijadikan nama menjadi Karampulue. Seiring dengan perjalanan waktu, kata Karampulue menjadi Karampuang karena tempat tersebut sering digunakan sebagai tempat persinggahan raja-raja atau bangsawan Bone atau sering dipanggil Puang serta bangsawan Makassar yang sering disapa dengan Karaeng. Perpaduan dua nama Puang dan Karaeng akhirnya Karampulue menjadi Karampuang. To Manurung pertama ini akhirnya didaulat untuk menjadi pemimpin masyarakat Karampuang tersebut dan mencetak beberapa sawah yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat hingga kini. Sawah pertama yang dibuat oleh To Manurung tersebut hingga kini masih tetap dipelihara dan dijadikan sebagai sawah adat dan diberi nama Galung Abungerreng atau sawah pertama. Konon sawah ini dibentuk dengan menggunakan tulang-tulang binatang yang akhirnya masyarakat menirunya cara pencetakan sawah semacam itu dan akhirnya sawah-sawah semakin luas seperti apa yang ada sekarang ini.. Masa pemerintahan To Manurung ini sangat singkat karena tiba-tiba lenyap ditempat dia pertama kali dilihat oleh masyarakat dengan meninggalkan pesan yang sangat mendalam, ” eloka tuo tea mate, eloka madeceng tea maja yang artinya saya ingin hidup dan tak mau mati, saya ingin kebaikan dan menghindari kejelekan. Pesan ini diterjemahkan oleh warga bahwa dia ingin agar apa yang telah dia lakukan untuk tetap dilestarikan dan kelak menjadi modal utama masyarakat. Namun demikian, dalam kebingungan masyarakat karena menghilangnya To Manurung yang mereka cintai, tiba-tiba muncul lagi To Manurung baru yang jumlahnya tujuh orang dan salah seorang di ataranya adalah seorang wanita cantik. Wanita tersebut didaulat untuk memimpin Karampuang sedangkan saudara laki-lakinya diperintahkan untuk memimpin kawasan lainnya. Perpisahan ke tujuh bersaudara ini disebut dengan lao cimbolona monro capengna artinya andaikan sebuah kelapa, sebagian besar buah kelapa itu pergi ke tempat lain, yang tinggal hanyalah puncak tempurungnya. Terjadinya perpisahan ini adalah perintah langsung dari pemimpin To Manurung wanita tadi . Dalam lontara Karampuang yang sangat disakralkan tersebut perintahnya tertulis, nonnono makkale lembang , numaloppo kuallinrungi, numatanre kuacinaungi, makkelo kuakkelori, naualai lisu ( turunlah ke lembah sana, kelak kau harus besar untuk melindungiku, mendapat kehormatan untuk menaungiku, menjadi pemerintah yang disegani, tapi kelak kebesaran itu akan kembali ke Karampuang ). Lebih jauh dijelaskan maksudanya bahwa kebesaran dan kehormatan yang akan kalian peroleh , suatu saat akan kembali lagi ke Karampuang. Apakah ini tuah dari pesan suci tersebut sehingga Karampuang menjadi besar namanya sedangkan wilayah-wilayah bentukan adik-adiknya sudah tak jelas lagi, waktulah yang akan menentukannya...... ( bersambung )

0 komentar: